ALYA SHOPIA
kader IPPNU yang sedang perjalanan pulang selepas rapat, Ketika sampai di depan
rumah, Alya melihat Pria di depan rumahnya dengan sebuah kutipan di belakang
kaosnya “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) – René Descartes 1596. Membuat
Alya terkesan dan menghampirinya. Alya menatapnya, mencoba mengenali wajahnya
yang begitu tertutup.
“Siapa Kamu ?”
Tanya Alya tanpa sadar
Pria itu terdiam sejenak,
lalu menjawab
“Aku.... aku adalah
bagian dari dirimu yang belum kamu kenali”
Dengan rasa penasaran
yang masih menggantung dikeplanya, Alya meninggalkan pria misterius itu sambil
menggaruk kepalanya.
Sampai di depan pintu
Alya melihat Amplop Surat tergelatak. Tak ada petunjuk pengirim, hanya sebait
kalimat:
“Siapa sebenarnya dirimu,
Alya?, Apa makna pilihan yang kamu buat hari
ini?”
Baru beberapa detik
membaca, jantungnya berdebar, di balik kesederhanaan kata itu tersembunyi
misteri yang bisa mengguncang segala keyakinan tentang jati diri.
Hari itu, Alya bersiap
memimpin diskusi pengajian. Namun, pikirannya justru terbelah antara tanggung
jawabnya sebagai penyaji materi keagamaan IPPNU dan kerinduan menulis cerpen,
bakat terpendam yang belum pernah ia tunjukkan. Di satu sisi, ia ingin
menegaskan identitasnya sebagai kader yang menjaga tradisi dan nilai organisasi.
sejalan dengan tujuan IPPNU membentuk pelajar berilmu, berakhlak mulia, dan
bertanggung jawab. Di sisi lain, kata hatinya berbisik, bahwa menulis adalah
jalan untuk mengekspresikan jati diri uniknya.
Terinspirasi rasa
penasaran itu, Alya menyelami konsep gagasan eksistensi mendahului esensi
milik Sartre yang menyatakan bahwa manusia lahir tanpa hakikat atau makna
bawaan. lalu menentukan diri melalui pilihan dan perbuatan. Eksistensialisme
menekankan bahwa nilai tertinggi bukan sekadar kebebasan, melainkan
autentisitas. keberanian menjadi diri sendiri dalam dunia yang tampak absurd.
Dalam perenungan Alya,
tiga cahaya pencerahan muncul dikepalanya. Pertama, kebebasan mutlak. Sartre
percaya setiap individu memiliki kebebasan tak terhingga untuk menentukan jalan
hidup, tapi hal itu juga menimbulkan kecemasan eksistensial karena konsekuensi
atas pilihan sepenuhnya dipikul sendiri. Kedua, tanggung jawab personal. Sikap Être-pour-soi
yang dalam bahasa indonesia berarti (berada untuk dirinya sendiri) atau sebuah
(kesadaran) memanggil kita untuk menyadari setiap tindakan sebagai cerminan
identitas, sehingga menulis cerpen atau mengisi kajian bukan sekadar aktivitas,
melainkan ekspresi diri yang membentuk jati diri. Ketiga, keberanian menjalani
kekosongan awal. tanpa pedoman takdir atau panggilan yang sudah dituliskan,
tiap individu ditantang menempa makna sendiri lewat pengalaman hidup.
Malamnya, di bawah lampu
meja, Alya menuliskan refleksi di buku hariannya dalam bentuk narasi bebas. Ia
menulis bagaimana setiap paragraf ceritanya kini terasa seperti pilihan sadar.
membuka lembar pertama organisasi, merangkai kalimat cerpen, bahkan membalas
pesan teman. Ia menyadari, “Akulah rangkaian keputusan yang kujalan setiap
detik”. sebuah kesadaran eksistensial bahwa identitas bukan kutukan tetap,
melainkan karya personal yang bisa terus direvisi.
Dengan hati lebih ringan,
Alya menutup hari dengan keyakinan baru, bahwa menjadi kader IPPNU dan penulis
cerpen bukanlah dua posisi yang bertentangan, melainkan dua lakon yang bisa
dibawakan bersamaan. Kini, ia memandang pertanyaan “Siapa Aku?” bukan
sebagai beban, melainkan panggilan untuk memilih secara sadar setiap hari, lalu
menanggung konsekuensinya sebagai cermin jati diri autentik.
Semoga kisah Alya menginspirasi
kita untuk berani menggali makna diri. karena sesungguhnya, hidup adalah cerita
yang kita tulis sendiri, satu pilihan pada satu waktu.
Waallahu a’lam bi showab
Kontributor : Ahmad K. Nizam
Editor : Ahmad Robith
Komentar
Posting Komentar