Ponsel Alya bergetar berkali-kali sebelum azan Subuh.
Kembali, grup WhatsApp IPNU-IPPNU penuh dengan pesan. Semuanya dimulai dengan
poster pendidikan, stiker, jokes, dan perdebatan panjang tanpa peringatan
tentang siapa yang bertanggung jawab atas jadwal pengajian. Bahasa mulai meninggi.
Perlahan-lahan muncul sarkas, seolah-olah mereka dapat membenarkan sikap yang
tidak akan pernah mereka katakan jika mereka berhadapan langsung. "Kenapa
sih grup pengkaderan malah seperti ring tinju?" tanya Rania, yang masih
terpejam.
Alya hanya berfokus pada layar. Ia merasa ada kesalahan.
Namun, di mana letak kesalahannya?
Di kelas filsafat keesokan harinya, Dosen Munir
menulis sebuah kalimat besar di papan tulis:
“mengatakan sesuatu berarti melakukan sesuatu”
Alya memperhatikannya baik-baik. Austin (1911) filsuf
Inggris, meyakini bahwa ucapan manusia bukan sekadar deskripsi. Ucapan adalah
tindakan. Ketika seseorang mengatakan "saya janji", ia tidak
hanya menyebut fakta, tapi melakukan perbuatan: berjanji. “Begitu juga saat
kita menulis di grup WhatsApp,” pikir Alya. “Saat bilang ‘kamu malas’, kita
sedang menghukum. Saat bilang ‘bodoh’, kita sedang merendahkan.” Dengan kata
lain, setiap ketikan di layar adalah perbuatan. Dan seperti semua perbuatan, ia
memiliki konsekuensi moral.
Rania yang membaca buku tebal filsafat bahasa
milik perpustakaan pesantren, mengutip Gadamer (1900) :"Bahasa
bukanlah sekadar alat komunikasi. Ia adalah tempat di mana makna dan pemahaman
terjadi."
“Jadi, kalau kita sembrono dalam menulis,
sebenarnya kita sedang merusak kemungkinan makna itu sendiri,” ujar Rania
Alya mengangguk. Di dunia digital, kita tak
bisa melihat wajah, mendengar intonasi, atau menangkap jeda. Semua bergantung
pada kata. Maka, tanggung jawab terhadap bahasa menjadi lebih besar, bukan
lebih kecil.
Alya kemudian teringat pada Sartre. Bagi Sartre
(1905), manusia adalah makhluk bebas—dan karena kebebasan itu, ia tak bisa lari
dari tanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Bahkan ketika tidak memilih, kita
tetap telah memilih untuk diam.
Dalam dunia digital, pilihan kita untuk
menulis, membalas, atau diam pun tetaplah pilihan eksistensial. Bahkan emoji
pun mengandung penilaian.“Di layar digital, kita tetap eksis. Dan eksistensi
itu tak netral. Ia menuntut kesadaran.”
Rania menambahkan, “Karena kita tak hanya
bicara sebagai pribadi, tapi juga sebagai kader, sebagai santri, sebagai bagian
dari IPNU-IPPNU.”
Malam itu, Alya menulis di jurnalnya:
"Setiap kata digital adalah jembatan atau
jurang. Di antara ribuan huruf dan emoji, aku ingin tetap menjadi manusia.
Bukan sekadar pengguna."
Karena seperti kata Emmanuel Levinas (1906),
yang tidak bisa ia lupakan dari kelas etika minggu lalu:
"Yang lain bukan untuk dipahami dulu,
tetapi untuk dihormati terlebih dahulu."
Maka dalam dunia yang penuh layar, persahabatan
tetap menuntut rasa hormat—dan bahasa tetap harus dijaga. Sebab di balik semua
interaksi daring, tetap ada jiwa yang hidup.
Dan di sanalah filsafat—yang sering dianggap
jauh dan berat—menyentuh dunia yang paling akrab: ruang obrolan digital kita.
Waallahu a’lam bi showab
Kontributor : Ahmad K. Nizam
Editor : Ahmad Robith
Komentar
Posting Komentar