Langsung ke konten utama

Philosophia Chapter 05 : Meneropong Masa Depan: Teknologi dan Kehidupan Baik

 

 


Pagi itu, bau kopi susu Bu Tinah dari kantin udah nyampur sama aroma khas lab komputer yang agak-agak "rumah sakit" gitu. Rina, si kacamata yang kadang miring, lagi serius mantengin layar. Di sebelahnya, Bima ikutan melotot ke deretan kode yang bikin pusing. Mereka berdua, bukan geng hits di sekolah, tapi punya satu passion yang sama: AI, atau si robot pinter.

"Lihat nih, Bim," Rina nunjuk layar, matanya berbinar. "Gue udah berhasil ngelatih model ini buat nebak cuaca dari data-data lama. Dikit lagi, dia bisa prediksi hujan besok!"

Bima nyamperin, kepo. "Gila, Rin, keren banget! Tapi... bedanya apa sama ramalan cuaca di TV? Kan itu cuma angka sama rumus doang, ya?"

Rina nyengir tipis. "Justru itu poinnya. Ini bukan sekadar ramalan biasa. Ini soal mesin yang bisa belajar. Dia nyerap info dari data, dari pengalaman, persis kayak kita belajar dari buku. Bedanya, dia jauh lebih ngebut."

Hening sebentar, otak Bima muter. "Berarti, suatu hari nanti, dia bisa lebih pinter dari kita, dong?"

Rina ngangguk pelan. "Bisa jadi. Tapi pinter dalam hal apa? Apa artinya 'pinter' buat mesin? Emang 'pinter' itu otomatis punya perasaan atau kesadaran?"

Obrolan di lab itu nyambung terus sampe jam istirahat. Di bawah pohon mangga gede di halaman sekolah, mereka lanjut ngalor-ngidul. Ada Fajar yang diem-diem menghanyutkan, sama Sita yang otaknya encer tapi hatinya humanis banget.

"Gue pernah denger Pak Hanif nyebut pandangan Martin Heidegger (Jerman: 1889 M) soal teknologi," Fajar mulai buka suara, matanya nerawang langit. "Katanya, teknologi modern itu bukan cuma alat, tapi udah jadi cara kita ngelihat dan ngeperlakuin dunia."

Sita ngangguk setuju. "Iya, Heidegger bilang, teknologi modern itu bikin segala sesuatu jadi 'siap sedia' atau 'tersedia' (Bestand). Kali jadi PLTA, hutan jadi bahan bangunan, bahkan manusia pun bisa jadi 'sumber daya' dalam sistem kerja. Kita jadi sering ngelihat alam, bahkan sesama manusia, kayak barang yang bisa dipake seenaknya demi efisiensi."

Bima ngernyit. "Jadi, menurut Heidegger, teknologi itu bahaya?"

"Bukan bahaya dalam arti dia jahat gitu," Rina ngejelasin. "Tapi lebih ke cara pandang yang dia ciptain. Kita jadi lupa inti dari sesuatu, kejebak di logika efisiensi sama produksi doang. Contohnya, pohon itu kan bukan cuma 'kayu buat bangun rumah', tapi makhluk hidup dengan ekosistemnya sendiri. Esensi kita sebagai manusia juga bisa terancam, karena kita bisa aja cuma dianggap sebagai fungsi dalam sistem teknologi yang gede."

Fajar nambahin, "Heidegger nyaranin biar kita jangan cuma pasrah sama teknologi, tapi juga mikirin lagi keberadaan kita di dalamnya, nyari cara buat 'ngungkapin' hal-hal yang enggak bisa diukur sama teknologi."

Diskusi mereka makin dalem. Mereka ngebayangin masa depan: mobil otonom yang bisa nganterin ke sekolah tanpa sopir, alat penerjemah instan yang bikin bisa ngobrol sama siapa aja di dunia, bahkan teknologi yang bisa bantu deteksi penyakit lebih awal. Tapi, pertanyaan soal gimana kita komunikasi dan interaksi di tengah gempuran teknologi terus aja muncul.

"Itu bikin gue inget sama pemikiran JĂ¼rgen Habermas (Jerman: 1929 M)" Sita melanjutkan, ngebetulin duduknya. "Dia fokusnya ke komunikasi sama ruang publik. Buat Habermas, masyarakat yang sehat itu butuh komunikasi yang rasional dan terbuka, di mana semua orang bisa ikutan tanpa dipaksa atau dimanipulasi."

"Loh, teknologi kan bantu komunikasi, ya?" tanya Bima. "Lewat medsos, kita bisa diskusi, nyampein pendapat."

"Itu idealnya," Sita ngoreksi dengan nada prihatin. "Tapi Habermas pasti bakal nanya: komunikasi di medsos itu beneran rasional dan bebas enggak? Atau malah penuh hoaks, kubu-kubuan, sama algoritma yang bikin kita cuma ketemu pendapat yang sama doang?"

Rina nambahin, "Habermas khawatir kalau media massa atau teknologi komunikasi malah ngikis 'ruang publik' yang otentik. Kita jadi males ngobrol dalem-dalem, dan yang ada cuma saling teriak opini, atau malah kejebak 'filter bubble' yang bikin kita terisolasi dari pandangan beda."

"Jadi, intinya, Habermas pengen kita mastiin kalau teknologi itu memfasilitasi komunikasi yang jujur dan adil, yang bisa bawa kita ke kesepakatan bareng," simpul Fajar, yang sekarang kelihatan lebih nyambung.

"Dan di situlah peran kita sebagai anak muda," Sita nambahin, matanya berbinar. "Apalagi buat kita yang gabung di IPNU dan IPPNU."

Sita mulai ngejelasin. "IPNU-IPPNU itu selalu ngomongin soal generasi emas 2045. Itu bukan cuma soal jadi pinter dan kaya doang. Tapi soal jadi manusia seutuhnya, yang punya akhlak, punya jiwa sosial, sama cinta tanah air."

"Dalam konteks teknologi," Bima nyambung, mulai nyambung, "berarti kita harus pinter pakai teknologi, tapi juga tetep punya hati, dan punya kemampuan dialog yang oke, ya?"

"Tepat banget!" seru Rina. "Kita harus bisa bedain mana info bener mana hoaks, kayak yang dikhawatirin Habermas. Kita harus bisa pakai teknologi buat kebaikan, bukan buat nyebar kebencian atau bikin pecah belah. Dan kita juga harus inget terus kalau manusia itu bukan cuma 'sumber daya' dalam sistem, kayak peringatan Heidegger."

Fajar nambahin, "Dan kita juga harus bisa berinovasi. Bikin teknologi yang bisa bantu masyarakat, kayak aplikasi buat petani kecil, atau platform buat belajar di daerah terpencil, tapi sambil tetep jagain nilai-nilai kemanusiaan."

Sita senyum bangga. "Visi IPNU-IPPNU itu ngebentuk anak muda yang melek digital tapi tetep berpegang teguh sama nilai-nilai kebangsaan sama keagamaan. Kita enggak pengen generasi emas cuma pinter secara akademik atau teknologi doang, tapi juga pinter secara emosional sama spiritual. Kita harus jadi agen perubahan yang pakai teknologi sebagai alat buat nyiptain kehidupan yang lebih baik buat semua, bukan cuma buat diri sendiri, dan itu termasuk mastiin komunikasi yang sehat sama keberadaan manusia yang enggak kegerus sama efisiensi doang."

Siang udah mau sore. Bel pulang sekolah bunyi, ngebuyarin lamunan mereka soal masa depan. Tapi, obrolan mereka enggak berhenti di situ. Bibit-bibit pemikiran kritis soal teknologi dan etika udah tertanam, makin subur gara-gara ide-ide dari para filsuf keren itu. Mereka sadar, masa depan itu bukan cuma soal apa yang bisa dibikin sama teknologi, tapi lebih ke gimana manusia, dengan segala nilai dan kebijaksanaannya, bakal make itu semua.

Rina ngunci pintu lab komputer, Bima ngeberesin buku, Fajar jalan pelan, dan Sita senyum penuh harap. Mereka tahu, perjalanan menuju generasi emas itu panjang, butuh bukan cuma otak yang pinter, tapi juga hati yang luhur. Dan dalam perjalanan itu, teknologi bakal jadi partner, asal dipandu sama akal sehat dan nurani yang jernih, serta kesadaran akan esensi manusia yang enggak tergantikan.

Waallhu a’lam bi showab

 

Kontributor : Ahmad K. Nizam

Editor            : Ahmad Robith

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Harlah : Catatan kecil dalam sebuah perjalanan

         Sebuah catatan ini saya tuliskan ketika disela sela saya melihat story tentang ucapan harlah yang banyak bersliweran di story media sosial. Februari 2025 merupakan bulan ke 2 yang mungkin bagi sebagian orang bulan biasa tanpa perayaan apapun di dalamnya kecuali kalian ulang tahun. Nah di momen ini bagi sebagian orang lain merupakan momentum yang ditunggu yakni tanggal 24 Februari 2025 menjadi harinya rekan-rekan IPNU.      Di hari itu juga, momen yang tepat untuk merefleksi dan  memaknai kembali setahun bahkan lebih ketika mengenal IPNU pada pertama kalinya dan proses didalamnya. Ya, tentunya banyak yang berterima kasih di ruang juang ini. Tapi bagi saya yang selalu berpikiran suudzon terhadap sesuatu izinkan saya untuk menuangkan beberapa keresahan saya dalam bentuk refleksi yang saya catat kali ini.      Ya, betul banyak sekali yang berterima kasih berproses namun layaknya seorang sopir yang harus tahu tentang m...

kalimat Wong Liyo Ngerti Opo? menjelma menjadi kalimat filosofis yang menggantikan peran Stoicism di kalangan anak muda jawa

  Belakangan ini sering muncul di beranda media sosial yang sering di gunakan oleh kalangan anak muda yaitu TikTok, sebuah konten viral yang membuat beberapa kalangan terheran bukan main karena di dalam konten tersebut seperti membandingkang sebuah kalimat biasa dengan sebuah mazhab filsafat yang tentunya memiliki banyak penganut di masa ini yaitu Stoicism. Tidak kaget melihat banyak orang keheranan dengan konten tersebut, Lha wong Cuma kalimat Wong Liyo Ngerti Opo? kok bisa-bisanya dibandingkan dengan Stoicism. sekilas sangat tidak apple to apple atau tidak sebanding, karena mazhab filsafat ini telah berkembang begitu lama dan telah melalui pembahasan serta perdebatan yang begitu panjang. Ibaratnya Stoicism ini sebuah kapal pesiar yang telah malang melintang mengarungi samudra harus bergelut dengan prahu gethek yang terbuat dari bambu. Stoicism adalah aliran filsafat Yunani yang mengedepankan penerimaan dan pengendalian diri atas segala sesuatu yang tentunya sangat relate ...

Siapa Aku?

  ALYA SHOPIA kader IPPNU yang sedang perjalanan pulang selepas rapat, Ketika sampai di depan rumah, Alya melihat Pria di depan rumahnya dengan sebuah kutipan di belakang kaosnya “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) – RenĂ© Descartes 1596. Membuat Alya terkesan dan menghampirinya. Alya menatapnya, mencoba mengenali wajahnya yang begitu tertutup. “Siapa Kamu ?” Tanya Alya tanpa sadar Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab “Aku.... aku adalah bagian dari dirimu yang belum kamu kenali” Dengan rasa penasaran yang masih menggantung dikeplanya, Alya meninggalkan pria misterius itu sambil menggaruk kepalanya. Sampai di depan pintu Alya melihat Amplop Surat tergelatak. Tak ada petunjuk pengirim, hanya sebait kalimat: “Siapa sebenarnya dirimu, Alya? , Apa makna pilihan yang kamu buat hari ini?” Baru beberapa detik membaca, jantungnya berdebar, di balik kesederhanaan kata itu tersembunyi misteri yang bisa mengguncang segala keyakinan tentang jati diri. Hari itu,...