Pagi itu, bau kopi susu Bu Tinah dari
kantin udah nyampur sama aroma khas lab komputer yang agak-agak "rumah
sakit" gitu. Rina, si kacamata yang kadang miring, lagi serius mantengin
layar. Di sebelahnya, Bima ikutan melotot ke deretan kode yang bikin pusing.
Mereka berdua, bukan geng hits di sekolah, tapi punya satu passion yang
sama: AI, atau si robot pinter.
"Lihat nih, Bim," Rina
nunjuk layar, matanya berbinar. "Gue udah berhasil ngelatih model ini buat
nebak cuaca dari data-data lama. Dikit lagi, dia bisa prediksi hujan
besok!"
Bima nyamperin, kepo. "Gila, Rin,
keren banget! Tapi... bedanya apa sama ramalan cuaca di TV? Kan itu cuma angka
sama rumus doang, ya?"
Rina nyengir tipis. "Justru itu
poinnya. Ini bukan sekadar ramalan biasa. Ini soal mesin yang bisa belajar.
Dia nyerap info dari data, dari pengalaman, persis kayak kita belajar dari
buku. Bedanya, dia jauh lebih ngebut."
Hening sebentar, otak Bima muter.
"Berarti, suatu hari nanti, dia bisa lebih pinter dari kita, dong?"
Rina ngangguk pelan. "Bisa jadi.
Tapi pinter dalam hal apa? Apa artinya 'pinter' buat mesin? Emang 'pinter' itu
otomatis punya perasaan atau kesadaran?"
Obrolan di lab itu nyambung terus
sampe jam istirahat. Di bawah pohon mangga gede di halaman sekolah, mereka
lanjut ngalor-ngidul. Ada Fajar yang diem-diem menghanyutkan, sama Sita
yang otaknya encer tapi hatinya humanis banget.
"Gue pernah denger Pak Hanif
nyebut pandangan Martin Heidegger (Jerman: 1889 M) soal teknologi,"
Fajar mulai buka suara, matanya nerawang langit. "Katanya, teknologi
modern itu bukan cuma alat, tapi udah jadi cara kita ngelihat dan ngeperlakuin
dunia."
Sita ngangguk setuju. "Iya,
Heidegger bilang, teknologi modern itu bikin segala sesuatu jadi 'siap sedia'
atau 'tersedia' (Bestand). Kali jadi PLTA, hutan jadi bahan bangunan,
bahkan manusia pun bisa jadi 'sumber daya' dalam sistem kerja. Kita jadi sering
ngelihat alam, bahkan sesama manusia, kayak barang yang bisa dipake seenaknya
demi efisiensi."
Bima ngernyit. "Jadi, menurut
Heidegger, teknologi itu bahaya?"
"Bukan bahaya dalam arti dia
jahat gitu," Rina ngejelasin. "Tapi lebih ke cara pandang yang dia
ciptain. Kita jadi lupa inti dari sesuatu, kejebak di logika efisiensi sama
produksi doang. Contohnya, pohon itu kan bukan cuma 'kayu buat bangun rumah',
tapi makhluk hidup dengan ekosistemnya sendiri. Esensi kita sebagai manusia
juga bisa terancam, karena kita bisa aja cuma dianggap sebagai fungsi dalam
sistem teknologi yang gede."
Fajar nambahin, "Heidegger
nyaranin biar kita jangan cuma pasrah sama teknologi, tapi juga mikirin lagi
keberadaan kita di dalamnya, nyari cara buat 'ngungkapin' hal-hal yang enggak
bisa diukur sama teknologi."
Diskusi mereka makin dalem. Mereka
ngebayangin masa depan: mobil otonom yang bisa nganterin ke sekolah tanpa
sopir, alat penerjemah instan yang bikin bisa ngobrol sama siapa aja di dunia,
bahkan teknologi yang bisa bantu deteksi penyakit lebih awal. Tapi, pertanyaan
soal gimana kita komunikasi dan interaksi di tengah gempuran teknologi terus
aja muncul.
"Itu bikin gue inget sama
pemikiran JĂ¼rgen Habermas (Jerman: 1929 M)" Sita melanjutkan,
ngebetulin duduknya. "Dia fokusnya ke komunikasi sama ruang publik. Buat
Habermas, masyarakat yang sehat itu butuh komunikasi yang rasional dan
terbuka, di mana semua orang bisa ikutan tanpa dipaksa atau
dimanipulasi."
"Loh, teknologi kan bantu
komunikasi, ya?" tanya Bima. "Lewat medsos, kita bisa diskusi,
nyampein pendapat."
"Itu idealnya," Sita
ngoreksi dengan nada prihatin. "Tapi Habermas pasti bakal nanya:
komunikasi di medsos itu beneran rasional dan bebas enggak? Atau malah penuh
hoaks, kubu-kubuan, sama algoritma yang bikin kita cuma ketemu pendapat yang
sama doang?"
Rina nambahin, "Habermas khawatir
kalau media massa atau teknologi komunikasi malah ngikis 'ruang publik' yang
otentik. Kita jadi males ngobrol dalem-dalem, dan yang ada cuma saling teriak
opini, atau malah kejebak 'filter bubble' yang bikin kita terisolasi dari
pandangan beda."
"Jadi, intinya, Habermas pengen
kita mastiin kalau teknologi itu memfasilitasi komunikasi yang jujur dan adil,
yang bisa bawa kita ke kesepakatan bareng," simpul Fajar, yang sekarang
kelihatan lebih nyambung.
"Dan di situlah peran kita
sebagai anak muda," Sita nambahin, matanya berbinar. "Apalagi buat
kita yang gabung di IPNU dan IPPNU."
Sita mulai ngejelasin.
"IPNU-IPPNU itu selalu ngomongin soal generasi emas 2045. Itu bukan cuma
soal jadi pinter dan kaya doang. Tapi soal jadi manusia seutuhnya, yang punya
akhlak, punya jiwa sosial, sama cinta tanah air."
"Dalam konteks teknologi,"
Bima nyambung, mulai nyambung, "berarti kita harus pinter pakai teknologi,
tapi juga tetep punya hati, dan punya kemampuan dialog yang oke, ya?"
"Tepat banget!" seru Rina.
"Kita harus bisa bedain mana info bener mana hoaks, kayak yang
dikhawatirin Habermas. Kita harus bisa pakai teknologi buat kebaikan, bukan
buat nyebar kebencian atau bikin pecah belah. Dan kita juga harus inget terus
kalau manusia itu bukan cuma 'sumber daya' dalam sistem, kayak peringatan
Heidegger."
Fajar nambahin, "Dan kita juga
harus bisa berinovasi. Bikin teknologi yang bisa bantu masyarakat, kayak
aplikasi buat petani kecil, atau platform buat belajar di daerah terpencil,
tapi sambil tetep jagain nilai-nilai kemanusiaan."
Sita senyum bangga. "Visi
IPNU-IPPNU itu ngebentuk anak muda yang melek digital tapi tetep berpegang
teguh sama nilai-nilai kebangsaan sama keagamaan. Kita enggak pengen
generasi emas cuma pinter secara akademik atau teknologi doang, tapi juga
pinter secara emosional sama spiritual. Kita harus jadi agen perubahan yang
pakai teknologi sebagai alat buat nyiptain kehidupan yang lebih baik
buat semua, bukan cuma buat diri sendiri, dan itu termasuk mastiin komunikasi
yang sehat sama keberadaan manusia yang enggak kegerus sama efisiensi
doang."
Siang udah mau sore. Bel pulang
sekolah bunyi, ngebuyarin lamunan mereka soal masa depan. Tapi, obrolan mereka
enggak berhenti di situ. Bibit-bibit pemikiran kritis soal teknologi dan etika
udah tertanam, makin subur gara-gara ide-ide dari para filsuf keren itu. Mereka
sadar, masa depan itu bukan cuma soal apa yang bisa dibikin sama teknologi,
tapi lebih ke gimana manusia, dengan segala nilai dan kebijaksanaannya, bakal
make itu semua.
Rina ngunci pintu lab komputer, Bima
ngeberesin buku, Fajar jalan pelan, dan Sita senyum penuh harap. Mereka tahu,
perjalanan menuju generasi emas itu panjang, butuh bukan cuma otak yang pinter,
tapi juga hati yang luhur. Dan dalam perjalanan itu, teknologi bakal jadi
partner, asal dipandu sama akal sehat dan nurani yang jernih, serta kesadaran
akan esensi manusia yang enggak tergantikan.
Waallhu a’lam bi
showab
Kontributor : Ahmad K. Nizam
Editor : Ahmad Robith
Komentar
Posting Komentar