Langsung ke konten utama

Philosophia Chapter 03 : Cinta dan Makna: Antara Romantisme dan Rasionalitas

 

Pagi itu, langit Pesantren Al-IMRON diselimuti mendung. Angin berhembus pelan, membawa bau tanah yang khas setelah hujan semalam. Di sela kegiatan organisasi, Rizal adalah seorang kader aktif  IPNU, dia menemukan selembar surat di dalam buku Kaidah Usul Fiqh miliknya. Tulisan tangan itu rapi, seolah ditulis dengan hati-hati, dan di pojok kanan atas terdapat simbol kecil: setangkai mawar dan pena bersilang.

"Kepada Rizal yang berpikir lebih banyak daripada bicara. Apa yang lebih membingungkan dari cinta? Aku rasa tidak ada. Kita diajari mencintai sesama karena Allah, tapi bagaimana bila perasaan itu tumbuh bersama kekaguman? Apakah itu salah? Atau hanya bentuk cinta yang belum dijelaskan oleh ustadz-ustadz kita?”

Di dunia Plato (427 SM), ada dua cinta: Eros dan Philia. Tapi tidak satu pun dijelaskan dalam forum organisasi. Jadi aku bertanya padamu, kader filsafat: apakah kita hanya boleh mencintai dalam batas rasionalitas saja?"

Tak ada nama pengirim. Hanya inisial: A.

Rizal menatap surat itu lama. Ia kenal beberapa nama dari IPPNU yang dia curigai sebagai pengirim, tapi tidak ingin buru-buru menyimpulkan. Sebagai kader yang selalu tertarik pada filsafat, surat ini bukan sekadar godaan hati, tapi juga tantangan berpikir.

Malam harinya, Rizal menyalakan lampu meja belajarnya dan mulai membuka buku Symposium karya Plato. Di sanalah diskusi tentang cinta bergulir, antara tokoh-tokoh Yunani, seperti Socrates, Aristophanes, dan Agathon.

Dalam pemikiran Plato, Eros adalah cinta yang bersifat romantis dan penuh gairah, dorongan jiwa yang ingin menyatu dengan keindahan. Namun Eros bukan hanya tentang tubuh – Plato mengarahkannya pada bentuk cinta yang membawa jiwa menuju kebenaran tertinggi, yakni kebaikan dan keindahan hakiki.

Sedangkan Philia, adalah cinta persahabatan. Cinta ini tumbuh dari kesamaan nilai, visi, dan penghargaan timbal balik. Tidak meledak-ledak seperti Eros, tapi tenang, stabil, dan seringkali lebih tahan lama.

"Mungkin A sedang bergulat dengan kedua bentuk cinta ini," pikir Rizal.
"Mungkin... aku juga."

Seminggu kemudian, Rizal menyelipkan balasan ke dalam rak perpustakaan IPPNU, tempat biasa A duduk saat kegiatan bersama. Di suratnya ia menulis:

"Kepada A yang mempertanyakan batas cinta. Plato mengajarkan bahwa cinta (Eros) bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan. Tapi jika kita hanya mengejar cinta romantis, kita akan berhenti di kulit luar dari makna sejati. Namun Philia cinta sebagai persahabatan spiritual bisa bertahan bahkan ketika gairah memudar.

Tapi bukankah organisasi ini adalah rumah bagi cinta yang lebih dari sekadar perasaan? Kita bersama karena cita. Kita bersatu karena nilai. Dan mungkin, di antara forum dan rapat, ada ruang di mana Eros dan Philia bisa saling bersalaman."

Ia menutup suratnya tanpa nama. Hanya inisial: R.

Surat-surat itu terus berlanjut, setiap minggu. Mereka berdiskusi soal cinta yang membingungkan: apakah boleh jatuh cinta pada sesama aktivis dakwah? Apakah cinta harus dirasionalisasi, atau cukup dirasakan?

A pernah menulis:

"R, kau tahu? Di satu sisi aku ingin merasa. Tapi di sisi lain, aku takut perasaanku ini akan mencemari niatku. Bukankah itu bertentangan dengan keikhlasan?"

Rizal menjawab:

"A, Plato bilang bahwa cinta yang sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang bergerak menuju yang lebih baik bersama. Jika cinta kita membawa kita pada pengabdian yang lebih tulus, bukankah itu juga bagian dari nilai?"

Suatu sore saat diskusi rutin, pandangan Rizal dan A bertemu. Mereka saling tahu, tanpa perlu berkata. Surat-surat itu telah menjembatani lebih dari sekadar perasaan, ia mempertemukan dua jiwa dalam satu pencarian makna.

Di akhir acara, A menyodorkan selembar kertas kecil, tanpa amplop:

"Cinta bukan hanya tentang kamu dan aku. Tapi tentang apa yang bisa kita perjuangkan bersama. Jika kita bertemu dalam nilai, maka cinta itu bukan gangguan, tapi anugerah."

Rizal tersenyum. Dalam diam, ia tahu: filsafat telah menjawab pertanyaan yang selama ini tak dijelaskan oleh forum.

Cinta dalam dunia kaderisasi bukanlah hal yang tabu, tapi perlu dijernihkan. Seperti kata Plato, Eros dan Philia bukan musuh, mereka dua jalan menuju kebijaksanaan yang sama.

Yang penting bukan apakah kita mencintai, tapi bagaimana kita mencintai dan apakah cinta itu membawa kita mendekat pada kebaikan, atau justru menjauh dari nilai-nilai perjuangan.

Jika kamu menyukai kisah ini, tunggu seri berikutnya….!!

Wa Allahu a’lam bi showab

 

 Kontributor : Ahmad K. Nizam

Editor           : Ahmad Robith

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Harlah : Catatan kecil dalam sebuah perjalanan

         Sebuah catatan ini saya tuliskan ketika disela sela saya melihat story tentang ucapan harlah yang banyak bersliweran di story media sosial. Februari 2025 merupakan bulan ke 2 yang mungkin bagi sebagian orang bulan biasa tanpa perayaan apapun di dalamnya kecuali kalian ulang tahun. Nah di momen ini bagi sebagian orang lain merupakan momentum yang ditunggu yakni tanggal 24 Februari 2025 menjadi harinya rekan-rekan IPNU.      Di hari itu juga, momen yang tepat untuk merefleksi dan  memaknai kembali setahun bahkan lebih ketika mengenal IPNU pada pertama kalinya dan proses didalamnya. Ya, tentunya banyak yang berterima kasih di ruang juang ini. Tapi bagi saya yang selalu berpikiran suudzon terhadap sesuatu izinkan saya untuk menuangkan beberapa keresahan saya dalam bentuk refleksi yang saya catat kali ini.      Ya, betul banyak sekali yang berterima kasih berproses namun layaknya seorang sopir yang harus tahu tentang m...

kalimat Wong Liyo Ngerti Opo? menjelma menjadi kalimat filosofis yang menggantikan peran Stoicism di kalangan anak muda jawa

  Belakangan ini sering muncul di beranda media sosial yang sering di gunakan oleh kalangan anak muda yaitu TikTok, sebuah konten viral yang membuat beberapa kalangan terheran bukan main karena di dalam konten tersebut seperti membandingkang sebuah kalimat biasa dengan sebuah mazhab filsafat yang tentunya memiliki banyak penganut di masa ini yaitu Stoicism. Tidak kaget melihat banyak orang keheranan dengan konten tersebut, Lha wong Cuma kalimat Wong Liyo Ngerti Opo? kok bisa-bisanya dibandingkan dengan Stoicism. sekilas sangat tidak apple to apple atau tidak sebanding, karena mazhab filsafat ini telah berkembang begitu lama dan telah melalui pembahasan serta perdebatan yang begitu panjang. Ibaratnya Stoicism ini sebuah kapal pesiar yang telah malang melintang mengarungi samudra harus bergelut dengan prahu gethek yang terbuat dari bambu. Stoicism adalah aliran filsafat Yunani yang mengedepankan penerimaan dan pengendalian diri atas segala sesuatu yang tentunya sangat relate ...

Siapa Aku?

  ALYA SHOPIA kader IPPNU yang sedang perjalanan pulang selepas rapat, Ketika sampai di depan rumah, Alya melihat Pria di depan rumahnya dengan sebuah kutipan di belakang kaosnya “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) – RenĂ© Descartes 1596. Membuat Alya terkesan dan menghampirinya. Alya menatapnya, mencoba mengenali wajahnya yang begitu tertutup. “Siapa Kamu ?” Tanya Alya tanpa sadar Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab “Aku.... aku adalah bagian dari dirimu yang belum kamu kenali” Dengan rasa penasaran yang masih menggantung dikeplanya, Alya meninggalkan pria misterius itu sambil menggaruk kepalanya. Sampai di depan pintu Alya melihat Amplop Surat tergelatak. Tak ada petunjuk pengirim, hanya sebait kalimat: “Siapa sebenarnya dirimu, Alya? , Apa makna pilihan yang kamu buat hari ini?” Baru beberapa detik membaca, jantungnya berdebar, di balik kesederhanaan kata itu tersembunyi misteri yang bisa mengguncang segala keyakinan tentang jati diri. Hari itu,...