Pagi itu, langit Pesantren Al-IMRON diselimuti
mendung. Angin berhembus pelan, membawa bau tanah yang khas setelah hujan
semalam. Di sela kegiatan organisasi, Rizal adalah seorang kader aktif IPNU, dia menemukan selembar surat di dalam
buku Kaidah Usul Fiqh miliknya. Tulisan tangan itu rapi, seolah
ditulis dengan hati-hati, dan di pojok kanan atas terdapat simbol kecil:
setangkai mawar dan pena bersilang.
"Kepada Rizal yang berpikir lebih banyak daripada
bicara. Apa yang lebih membingungkan dari cinta? Aku rasa tidak ada. Kita
diajari mencintai sesama karena Allah, tapi bagaimana bila perasaan itu tumbuh
bersama kekaguman? Apakah itu salah? Atau hanya bentuk cinta yang belum
dijelaskan oleh ustadz-ustadz kita?”
Di dunia Plato (427 SM), ada dua cinta: Eros
dan Philia. Tapi tidak satu pun dijelaskan dalam forum
organisasi. Jadi aku bertanya padamu, kader filsafat: apakah kita hanya boleh
mencintai dalam batas rasionalitas saja?"
Tak ada nama
pengirim. Hanya inisial: A.
Rizal menatap surat itu lama. Ia kenal beberapa nama dari IPPNU yang
dia curigai sebagai pengirim, tapi tidak ingin buru-buru menyimpulkan. Sebagai
kader yang selalu tertarik pada filsafat, surat ini bukan sekadar godaan hati,
tapi juga tantangan berpikir.
Malam harinya, Rizal menyalakan lampu meja belajarnya dan mulai
membuka buku Symposium karya Plato. Di sanalah diskusi tentang cinta
bergulir, antara tokoh-tokoh Yunani, seperti Socrates, Aristophanes, dan
Agathon.
Dalam pemikiran Plato, Eros adalah cinta yang
bersifat romantis dan penuh gairah, dorongan jiwa yang ingin menyatu dengan
keindahan. Namun Eros bukan hanya tentang tubuh – Plato mengarahkannya pada
bentuk cinta yang membawa jiwa menuju kebenaran tertinggi, yakni kebaikan
dan keindahan hakiki.
Sedangkan Philia, adalah cinta persahabatan. Cinta
ini tumbuh dari kesamaan nilai, visi, dan penghargaan timbal balik. Tidak
meledak-ledak seperti Eros, tapi tenang, stabil, dan seringkali lebih tahan
lama.
"Mungkin A sedang bergulat dengan kedua bentuk cinta ini," pikir Rizal.
"Mungkin... aku juga."
Seminggu kemudian, Rizal menyelipkan balasan ke dalam rak
perpustakaan IPPNU, tempat biasa A duduk saat kegiatan bersama. Di suratnya ia
menulis:
"Kepada A yang mempertanyakan batas cinta. Plato mengajarkan bahwa cinta (Eros) bisa menjadi jalan menuju
kebijaksanaan. Tapi jika kita hanya mengejar cinta romantis, kita akan berhenti
di kulit luar dari makna sejati. Namun Philia cinta sebagai persahabatan
spiritual bisa bertahan bahkan ketika gairah memudar.
Tapi bukankah organisasi ini adalah rumah bagi cinta yang lebih dari
sekadar perasaan? Kita bersama karena cita. Kita bersatu karena nilai. Dan
mungkin, di antara forum dan rapat, ada ruang di mana Eros dan Philia bisa
saling bersalaman."
Ia menutup
suratnya tanpa nama. Hanya inisial: R.
Surat-surat itu terus berlanjut, setiap minggu. Mereka berdiskusi
soal cinta yang membingungkan: apakah boleh jatuh cinta pada sesama aktivis
dakwah? Apakah cinta harus dirasionalisasi, atau cukup dirasakan?
A pernah
menulis:
"R, kau tahu? Di satu sisi aku ingin merasa. Tapi di sisi lain,
aku takut perasaanku ini akan mencemari niatku. Bukankah itu bertentangan
dengan keikhlasan?"
Rizal menjawab:
"A, Plato bilang bahwa cinta yang sejati bukan tentang
memiliki, tapi tentang bergerak menuju yang lebih baik bersama. Jika cinta kita
membawa kita pada pengabdian yang lebih tulus, bukankah itu juga bagian dari
nilai?"
Suatu sore saat diskusi rutin, pandangan Rizal dan A bertemu. Mereka
saling tahu, tanpa perlu berkata. Surat-surat itu telah menjembatani lebih dari
sekadar perasaan, ia mempertemukan dua jiwa dalam satu pencarian makna.
Di akhir acara,
A menyodorkan selembar kertas kecil, tanpa amplop:
"Cinta bukan hanya tentang kamu dan aku. Tapi tentang apa yang
bisa kita perjuangkan bersama. Jika kita bertemu dalam nilai, maka cinta itu
bukan gangguan, tapi anugerah."
Rizal tersenyum. Dalam diam, ia tahu: filsafat telah menjawab
pertanyaan yang selama ini tak dijelaskan oleh forum.
Cinta dalam dunia kaderisasi bukanlah hal yang tabu, tapi perlu
dijernihkan. Seperti kata Plato, Eros dan Philia
bukan musuh, mereka dua jalan menuju kebijaksanaan yang sama.
Yang penting bukan apakah kita mencintai, tapi bagaimana
kita mencintai dan apakah cinta itu membawa kita mendekat pada kebaikan, atau
justru menjauh dari nilai-nilai perjuangan.
Jika kamu
menyukai kisah ini, tunggu seri berikutnya….!!
Wa Allahu
a’lam bi showab
Komentar
Posting Komentar