Langsung ke konten utama

Tanggung Jawab Sosial: Pelajar sebagai Agen Perubahan

 


 

Pagi itu, langit masih pucat ketika Rafi dan Salsabila—dua kader IPNU IPPNU—berkumpul di halaman masjid Kota Kendal. Dalam angin sepoi, mereka saling bertukar senyum penuh semangat.

“Yuk, Raf, pasang banner ‘Aksi Bakti Sosial: Bersih-Bersih Sungai’ di sana,” sapa Salsab.

Rafi mengangguk, tangannya cekatan membuka gulungan spanduk. Sementara itu, sekelompok remaja lain sudah menyusuri tepi sungai, memungut sampah plastik yang mengapung. Ada yang membagikan sarung tangan karet, ada pula yang sibuk mengumpulkan botol-botol bekas dan kantong kresek, memasukkannya ke kantung-kantung besar.

Di sela pekerjaan, Salsab duduk di kayu lapuk, menoleh pada Rafi. “Kamu pernah baca soal keadilan menurut Aristoteles (384 SM), nggak?” tanyanya tiba-tiba.

Rafi melempar pandang. “Iya, itu yang bilang keadilan itu soal ‘memberi kepada yang berhak’, kan? Aristoteles bilang, ada distributive justice—pembagian yang proporsional—dan corrective justice, buat ngembaliin yang hilang atau rusak.”

Salsab mengangguk sambil menatap aliran sungai. “Betul. Nah lihat deh, sungai ini kan milik bersama. Kalau kita biarin sampah numpuk, siapa yang rugi? Kita semua, terutama warga yang bergantung airnya untuk sehari-hari.” Matanya berbinar. “Jadi, kerja kita pagi ini adalah wujud keadilan distributif—pastikan setiap orang dapat hak atas lingkungan bersih.”. lalu matahari semakin meninggi ketika mereka beralih menanam bibit pohon trembesi di tepi sungai.

Ali, anggota IPNU, dengan cekatan menggali lubang, sementara Lina, anggota IPPNU, menanam dan menyirami pohon kecil itu. Mereka bergoyang tertawa ketika seekor kucing kampung muncul, mengendus karung bibit, lalu lari kocar-kacir.

Di bawah rindang pohon trembesi yang mulai menjulang, Salsab menarik napas panjang. “Sekarang, gimana kalau kita refleksikan apa yang John Rawls (1921) bilang tentang keadilan?”

Rafi mengerling, “Rawls itu konsep dasarnya ‘veil of ignorance’—tabir ketidaktahuan. Kita seolah nggak tahu posisi kita lahir kaya atau miskin, kota atau desa, biar aturan yang kita bikin nanti adil untuk semua.”

Lina menyampuk sambil mengikat tali sepatu. “Jadi, kalau kita bikin program bakti sosial, kita harus mikir: ‘Bayangin kalau aku yang nggak punya akses air bersih, gimana?’ Harus buat aturan—program—yang optimal untuk yang paling rentan.”

Ali mengangguk setuju. “Iya, kan kalau menurut Rawls, prinsip pertama: hak-hak dasar paling luas untuk semua. Kedua, ketidaksetaraan boleh asal manfaatnya maksimal bagi yang paling lemah.” Ia menunjuk sungai yang sudah mulai bersih. “Kayak sekarang, kebersihan ini kan jadi hak kita semua.”

Salsab meneguk air mineral, menatap teman-temannya. “Balik lagi ke Aristoteles—pembagian proporsional. Kita bertukar tugas sesuai kapasitas: yang kuat angkat karung, yang teliti memilah sampah, yang sabar memandu adik-adik SD bantu bersih-bersih.”

Rafi tersenyum. “Betul. Kombinasi Aristoteles dan Rawls ini kayak sinergi logika klasik dan modern: proporsionalitas ketara, tapi selalu mengutamakan mereka yang paling terpinggirkan.”

Mereka pun duduk berjejer di tepi sungai, menikmati bekal sederhana: nasi uduk bungkus daun pisang, tempe orek, dan kerupuk. Di antara gado-gado kata-kata tentang keadilan, tawa, dan denyut semangat persaudaraan, mereka meresapi makna bahwa menjadi pelajar bukan cuma soal waktu di bangku kuliah—tapi menjadi agen perubahan nyata bagi lingkungan dan masyarakat.

Salsab menutup obrolan pagi itu, “Jadi, tanggung jawab sosial kita sebagai pelajar bukan cuma teori di catatan. Aksi bakti sosial hari ini bukti nyata—keadilan bagi lingkungan dan manusia kecil di sekitar kita.”

Rafi mengangguk mantap. “Setuju. Semoga esok lusa, benih pohon ini tumbuh rindang, dan semangat keadilan terus mekar di hati semua orang.”

Di bawah sinar matahari yang semakin hangat, mereka berpisah—siap menebar keadilan, satu tindakan kecil tiap harinya.

 

Kontributor : Ahmad K. Nizam

Editor          : Ahmad Robith

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Harlah : Catatan kecil dalam sebuah perjalanan

         Sebuah catatan ini saya tuliskan ketika disela sela saya melihat story tentang ucapan harlah yang banyak bersliweran di story media sosial. Februari 2025 merupakan bulan ke 2 yang mungkin bagi sebagian orang bulan biasa tanpa perayaan apapun di dalamnya kecuali kalian ulang tahun. Nah di momen ini bagi sebagian orang lain merupakan momentum yang ditunggu yakni tanggal 24 Februari 2025 menjadi harinya rekan-rekan IPNU.      Di hari itu juga, momen yang tepat untuk merefleksi dan  memaknai kembali setahun bahkan lebih ketika mengenal IPNU pada pertama kalinya dan proses didalamnya. Ya, tentunya banyak yang berterima kasih di ruang juang ini. Tapi bagi saya yang selalu berpikiran suudzon terhadap sesuatu izinkan saya untuk menuangkan beberapa keresahan saya dalam bentuk refleksi yang saya catat kali ini.      Ya, betul banyak sekali yang berterima kasih berproses namun layaknya seorang sopir yang harus tahu tentang m...

kalimat Wong Liyo Ngerti Opo? menjelma menjadi kalimat filosofis yang menggantikan peran Stoicism di kalangan anak muda jawa

  Belakangan ini sering muncul di beranda media sosial yang sering di gunakan oleh kalangan anak muda yaitu TikTok, sebuah konten viral yang membuat beberapa kalangan terheran bukan main karena di dalam konten tersebut seperti membandingkang sebuah kalimat biasa dengan sebuah mazhab filsafat yang tentunya memiliki banyak penganut di masa ini yaitu Stoicism. Tidak kaget melihat banyak orang keheranan dengan konten tersebut, Lha wong Cuma kalimat Wong Liyo Ngerti Opo? kok bisa-bisanya dibandingkan dengan Stoicism. sekilas sangat tidak apple to apple atau tidak sebanding, karena mazhab filsafat ini telah berkembang begitu lama dan telah melalui pembahasan serta perdebatan yang begitu panjang. Ibaratnya Stoicism ini sebuah kapal pesiar yang telah malang melintang mengarungi samudra harus bergelut dengan prahu gethek yang terbuat dari bambu. Stoicism adalah aliran filsafat Yunani yang mengedepankan penerimaan dan pengendalian diri atas segala sesuatu yang tentunya sangat relate ...

Siapa Aku?

  ALYA SHOPIA kader IPPNU yang sedang perjalanan pulang selepas rapat, Ketika sampai di depan rumah, Alya melihat Pria di depan rumahnya dengan sebuah kutipan di belakang kaosnya “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) – RenĂ© Descartes 1596. Membuat Alya terkesan dan menghampirinya. Alya menatapnya, mencoba mengenali wajahnya yang begitu tertutup. “Siapa Kamu ?” Tanya Alya tanpa sadar Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab “Aku.... aku adalah bagian dari dirimu yang belum kamu kenali” Dengan rasa penasaran yang masih menggantung dikeplanya, Alya meninggalkan pria misterius itu sambil menggaruk kepalanya. Sampai di depan pintu Alya melihat Amplop Surat tergelatak. Tak ada petunjuk pengirim, hanya sebait kalimat: “Siapa sebenarnya dirimu, Alya? , Apa makna pilihan yang kamu buat hari ini?” Baru beberapa detik membaca, jantungnya berdebar, di balik kesederhanaan kata itu tersembunyi misteri yang bisa mengguncang segala keyakinan tentang jati diri. Hari itu,...