Langsung ke konten utama

TIDUR SEHARIAN, BEGADANG SEMALAMAN; IBADAH GEN Z DI BULAN RAMADHAN?


 


Tidur seharian adalah ibadah?

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan kebajikan bagi umat Islam. Selama bulan suci ini, banyak umat Islam yang mengubah pola tidur dan aktivitas mereka, termasuk tidur seharian ataupun begadang hingga larut malam. Namun, apakah tidur seharian dan begadang di bulan Ramadhan diperbolehkan dan bernilai ibadah dalam Islam?

Menuju bulan Ramadhan tentu banyak kegiatan yang bisa bernilai ibadah, salah satu yang paling digemari adalah tidur. Seolah menjadi alternatif, tidur dijadikan sebagai ibadah sekaligus mempersingkat waktu berbuka tiba. Keutamaan orang berpuasa yang bahkan tidurnya pun berstatus sebagai ibadah juga dijelaskan dalam hadits:   نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ  “Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).

Lantas apakah tidur seharian bisa bernilai ibadah? Hadits ini seringkali dipolitisasi oleh sebagian masyarakat sebagai pembenaran dalam bersikap malas-malasan dengan banyak tidur saat menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Padahal pemikiran seperti ini tidaklah benar, sebab salah satu adab dalam menjalankan puasa adalah tidak memperbanyak tidur saat siang hari. Imam al-Ghazali menjelaskan:   بل من الآداب أن لا يكثر النوم بالنهار حتى يحس بالجوع والعطش ويستشعر ضعف القوي فيصفو عند ذلك قلبه “Sebagian dari tata krama puasa adalah tidak memperbanyak tidur di siang hari, hingga seseorang merasakan lapar dan haus dan merasakan lemahnya kekuatan, dengan demikian hati akan menjadi jernih” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumid Din, juz 1, hal. 246).

 

Bagaimana maksud tidur adalah ibadah?

Tidur memang bisa berkonotasi negatif sebab identik dengan bermalas-malasan. Namun di sisi lain, tidur juga dapat bernilai positif jika digunakan untuk mempersiapkan hal-hal yang bernuansa ibadah, seperti untuk mempersiapkan fisik dalam menjalankan ibadah. Hal ini seperti keterangan dalam kitab Ittihaf sadat al-Muttaqien:   نوم الصائم عبادة ونفسه تسبيح وصمته حكمة، هذا مع كون النوم عين الغفلة ولكن كل ما يستعان به على العبادة يكون عبادة “Tidurnya orang puasa adalah ibadah, napasnya adalah tasbih, dan diamnya adalah hikmah. Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun tidur merupakan inti dari kelupaan, namun setiap hal yang dapat membantu seseorang melaksanakan ibadah maka juga termasuk sebagai ibadah” (Syekh Murtadla az-Zabidi, Ittihaf Sadat al-Muttaqin, juz 5, hal. 574).

Menjalankan puasa jelas merupakan sebuah ibadah, maka tidur pada saat berpuasa yang bertujuan agar lebih bersemangat dalam manjalankan ibadah terhitung sebagai ibadah. Namun fadhilah ini tidak berlaku manakala seseorang mengotori puasanya dengan melakukan perbuatan maksiat, seperti menggunjing orang lain. Dalam keadaan demikian, tidur pada saat berpuasa sudah tidak lagi bernilai ibadah.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani:   وهذا في صائم لم يخرق صومه بنحو غيبة، فالنوم وإن كان عين الغفلة يصير عبادة، لأنه يستعين به على العبادة. “Hadits ‘tidurnya orang berpuasa adalah ibadah’ ini berlaku bagi orang berpuasa yang tidak merusak puasanya, misal dengan perbuatan ghibah. Tidur meskipun merupakan inti kelupaan, namun akan menjadi ibadah sebab dapat membantu melaksanakan ibadah” (Syekh Muhammad bin ‘Umar an-Nawawi al-Bantani, Tanqih al-Qul al-Hatsits, Hal. 66).

Orang yang berpuasa namun masih saja melakukan perbuatan maksiat dalam puasanya, tidak mendapatkan fadhilah (keutamaan) dalam hadits “tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”, sebab tidur yang dia lakukan tidak dimaksudkan sebagai penunjang melaksanakan ibadah puasa, karena ia telah mengotorinya dengan perbuatan maksiat.   Artinya, tidur pada saat berpuasa dapat disebut sebagai ibadah ketika memenuhi dua kriteria. Pertama, tidak dimaksudkan untuk bermalas-malasan, tapi untuk lebih bersemangat dalam menjalankan ibadah. Kedua, tidak mencampuri ibadah puasanya dengan melakukan perbuatan maksiat.

 

Begadang adalah ibadah

Begadang untuk ibadah seperti shalat malam, membaca Al-Quran, berdzikir, dan berdoa, khususnya di 10 hari terakhir Ramadhan, sangat dianjurkan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan beliau sering menggabungkan shalat malam dan tidur, bahkan begadang di 10 hari terakhir Ramadhan. Penting untuk diingat, bahwa begadang untuk ibadah tidak boleh menyebabkan seseorang meninggalkan shalat Subuh atau Dzuhur karena kelelahan.

Berikut salah satu hadits yang menjelaskan tentang kebiasaan Nabi Muhammad SAW:

 كان النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْلِطُ العِشْرين بصلاةٍ ونومٍ فإذا كان العشرُ شمَّر وشدَّ المِئزرَ

Artinya: “Adalah Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam biasa menggabungkan antara sholat (malam) dan tidur. Lalu, bila telah tiba 10 (malam terakhir), beliau begadang dan mengencangkan ikat pinggang”. (HR Ahmad 25136, hadis ini sanadnya dhoif namun maknanya shahih).

 

Begadang untuk Aktivitas Mubah

Begadang hanya untuk bersenda gurau, makan-makan, atau kegiatan mubah lainnya hukumnya makruh (dibenci). Meskipun makruh, jika sampai menyebabkan seseorang meninggalkan shalat Subuh atau Dzuhur, maka perbuatan tersebut menjadi haram.

Berikut hadits yang menjelaskan tentang kebiasaan Nabi Muhammad SAW:

 اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا

Artinya: Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat Isya dan ngobrol-ngobrol begadang setelahnya (HR Bukhari, 568).

 

Begadang untuk Maksiat

Begadang untuk melakukan perbuatan maksiat seperti bergosip, berjudi, mabuk-mabukan, berzina, dan perbuatan tercela lainnya hukumnya haram. Hal ini semakin diperburuk jika keesokan harinya seseorang tidur sepanjang hari hingga meninggalkan aktivitas dan ibadah.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum begadang di bulan Ramadhan sangat tergantung pada niat dan aktivitas yang dilakukan. Begadang untuk ibadah sangat dianjurkan, terutama di 10 hari terakhir Ramadhan. Namun, begadang untuk aktivitas mubah sebaiknya dihindari karena bisa mengganggu ibadah wajib. Yang terpenting, begadang untuk maksiat harus dihindari sepenuhnya karena akan berdampak buruk pada ibadah dan kehidupan sehari-hari. Sebagai umat Islam, kita diharapkan dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya selama Ramadhan guna meningkatkan kualitas ibadah dan spiritual kita.

 

Kontributor : Iqbal Alaik

Editor          : Wiwid Fitriyani

Design         : M Helmi Kurniawan

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Harlah : Catatan kecil dalam sebuah perjalanan

         Sebuah catatan ini saya tuliskan ketika disela sela saya melihat story tentang ucapan harlah yang banyak bersliweran di story media sosial. Februari 2025 merupakan bulan ke 2 yang mungkin bagi sebagian orang bulan biasa tanpa perayaan apapun di dalamnya kecuali kalian ulang tahun. Nah di momen ini bagi sebagian orang lain merupakan momentum yang ditunggu yakni tanggal 24 Februari 2025 menjadi harinya rekan-rekan IPNU.      Di hari itu juga, momen yang tepat untuk merefleksi dan  memaknai kembali setahun bahkan lebih ketika mengenal IPNU pada pertama kalinya dan proses didalamnya. Ya, tentunya banyak yang berterima kasih di ruang juang ini. Tapi bagi saya yang selalu berpikiran suudzon terhadap sesuatu izinkan saya untuk menuangkan beberapa keresahan saya dalam bentuk refleksi yang saya catat kali ini.      Ya, betul banyak sekali yang berterima kasih berproses namun layaknya seorang sopir yang harus tahu tentang m...

Siapa Aku?

  ALYA SHOPIA kader IPPNU yang sedang perjalanan pulang selepas rapat, Ketika sampai di depan rumah, Alya melihat Pria di depan rumahnya dengan sebuah kutipan di belakang kaosnya “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) – René Descartes 1596. Membuat Alya terkesan dan menghampirinya. Alya menatapnya, mencoba mengenali wajahnya yang begitu tertutup. “Siapa Kamu ?” Tanya Alya tanpa sadar Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab “Aku.... aku adalah bagian dari dirimu yang belum kamu kenali” Dengan rasa penasaran yang masih menggantung dikeplanya, Alya meninggalkan pria misterius itu sambil menggaruk kepalanya. Sampai di depan pintu Alya melihat Amplop Surat tergelatak. Tak ada petunjuk pengirim, hanya sebait kalimat: “Siapa sebenarnya dirimu, Alya? , Apa makna pilihan yang kamu buat hari ini?” Baru beberapa detik membaca, jantungnya berdebar, di balik kesederhanaan kata itu tersembunyi misteri yang bisa mengguncang segala keyakinan tentang jati diri. Hari itu,...

Kawan atau sekedar Klik

  Ponsel Alya bergetar berkali-kali sebelum azan Subuh. Kembali, grup WhatsApp IPNU-IPPNU penuh dengan pesan. Semuanya dimulai dengan poster pendidikan, stiker, jokes, dan perdebatan panjang tanpa peringatan tentang siapa yang bertanggung jawab atas jadwal pengajian. Bahasa mulai meninggi. Perlahan-lahan muncul sarkas, seolah-olah mereka dapat membenarkan sikap yang tidak akan pernah mereka katakan jika mereka berhadapan langsung. "Kenapa sih grup pengkaderan malah seperti ring tinju?" tanya Rania, yang masih terpejam. Alya hanya berfokus pada layar. Ia merasa ada kesalahan. Namun, di mana letak kesalahannya? Di kelas filsafat keesokan harinya, Dosen Munir menulis sebuah kalimat besar di papan tulis: “mengatakan sesuatu berarti melakukan sesuatu” Alya memperhatikannya baik-baik. Austin (1911) filsuf Inggris, meyakini bahwa ucapan manusia bukan sekadar deskripsi. Ucapan adalah tindakan. Ketika seseorang mengatakan "saya janji" , ia tidak hanya menyebut fakt...