Langsung ke konten utama

IDEOLOGI PASCA KHULAFAURRASYIDIN (ASWAJA)

 

 


Pasca Khulafaur Rasyidin: Implementasi Ideologi Ahlus Sunnah wal Jamaah (ASWAJA) dalam Kehidupan Sehari-hari di Indonesia


Setelah masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin berakhir, umat Islam menghadapi berbagai tantangan sosial-politik. Perpecahan internal, kemunculan berbagai aliran pemikiran, dan pertentangan kepentingan politik mewarnai perjalanan umat. Dalam situasi seperti ini, ideologi Ahlus Sunnah wal Jamaah (ASWAJA) lahir sebagai pedoman utama dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan menegakkan prinsip moderasi, keseimbangan, toleransi, serta keadilan.

Di Indonesia, nilai-nilai ASWAJA berkembang kuat, khususnya setelah masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 melalui jalur dakwah yang santun dan budaya yang akomodatif. Hingga kini, ASWAJA menjadi ideologi yang membentuk karakter keberagamaan masyarakat Indonesia.

 

Ideologi dan Prinsip Utama

ASWAJA berarti "Pengikut Sunnah Nabi dan Jamaah (komunitas umat Islam)." Ajaran ini berpegang pada:

·       Tawassuth (Moderasi): Bersikap tengah-tengah, menghindari ekstremisme dan liberalisme.

·       Tasamuh (Toleransi): Menghormati perbedaan pandangan dalam masalah furu’ (cabang agama).

·       Tawazun (Keseimbangan): Menyeimbangkan antara dunia dan akhirat.

·       I’tidal (Keadilan): Bersikap adil dalam berhubungan dengan sesama manusia.

 

Pada bidang aqidah, ASWAJA mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Dalam fiqih, berpegang pada salah satu dari empat mazhab, terutama mazhab Syafi’i di Indonesia. Dalam tasawuf, menganut tasawuf sunni yang diajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Imam Al-Ghazali.

 

ASWAJA dalam Kehidupan Sehari-hari di Indonesia

1.     Sikap Moderat dalam Beragama

Di Indonesia, ajaran ASWAJA diterapkan dalam sikap keberagamaan yang moderat. Umat Islam menjalankan ajaran agama tanpa sikap berlebihan (ghuluw) maupun mengabaikan syariat.

Misalnya, dalam kegiatan sehari-hari, umat Islam Indonesia menjalankan shalat, puasa, zakat, dan haji dengan penuh keikhlasan, sambil tetap aktif dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Prinsip ini tercermin dalam semboyan "Islam Nusantara" yang digaungkan Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Islam yang ramah, bukan marah.

 

2.     Toleransi dan Menghargai Perbedaan

Indonesia adalah negara yang plural, terdiri atas berbagai suku, budaya, dan agama. Prinsip tasamuh ASWAJA mendorong umat Islam untuk hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain.

Kehidupan sehari-hari menunjukkan bagaimana umat Islam di Indonesia menghormati umat lain, seperti dalam tradisi saling mengunjungi saat hari besar keagamaan, serta adanya kerja sama sosial lintas agama.

Contoh lain adalah penghormatan terhadap berbagai tradisi lokal seperti sekaten, grebeg, dan sedekah laut, yang diwarnai nilai-nilai Islam dan budaya lokal.

 

3.     Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

ASWAJA mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Umat Islam Indonesia tidak hanya berfokus pada ibadah ritual, tetapi juga aktif dalam dunia pendidikan, pertanian, perdagangan, dan pemerintahan.

Seorang petani, misalnya, tetap tekun mengelola sawahnya sambil tidak melupakan shalat berjamaah di masjid. Seorang pedagang menjalankan usahanya secara jujur dan adil, sambil menunaikan zakat perdagangan.

 

4.     Penguatan Spiritualitas melalui Amalan Tradisional

Di Indonesia, amalan-amalan seperti Yasinan, tahlilan, Maulidan, dan manaqiban menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Ini merupakan implementasi tasawuf sunni dalam membina hubungan dengan Allah secara lebih personal.

Kegiatan-kegiatan ini memperkuat rasa persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) di masyarakat dan mengajarkan nilai-nilai keikhlasan, sabar, serta pengharapan kepada Allah.

 

5.     Ketaatan kepada Pemimpin dan Hukum

Dalam tradisi ASWAJA, taat kepada pemimpin merupakan bagian dari menjaga kemaslahatan umat. Masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan pesantren dan organisasi Islam tradisional, menekankan pentingnya menghormati pemerintah selama tidak bertentangan dengan syariat.

Ini tercermin dalam semangat menjaga persatuan nasional, menghindari pemberontakan, serta aktif dalam pembangunan sosial.

Relevansi ASWAJA untuk Indonesia Modern

Dalam menghadapi tantangan globalisasi, radikalisme, dan krisis moral, nilai-nilai ASWAJA semakin relevan. Pendekatan moderat, toleran, dan seimbang menjadi kunci menjaga keharmonisan sosial di tengah keberagaman Indonesia.

Organisasi-organisasi seperti NU, Muhammadiyah (dalam aspek moderasi), dan berbagai pesantren tradisional terus menjadi garda terdepan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ASWAJA dalam masyarakat modern.


Pasca Khulafaur Rasyidin, Ahlus Sunnah wal Jamaah menjadi ideologi kunci dalam menjaga keseimbangan umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penerapan nilai-nilai ASWAJA seperti moderasi, toleransi, keseimbangan, dan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari telah membentuk wajah Islam Indonesia yang damai, santun, dan inklusif. Oleh karena itu, menjaga dan mengembangkan prinsip ASWAJA menjadi penting agar umat Islam Indonesia tetap menjadi umat yang rahmatan lil alamin di tengah perubahan zaman.

 

 

Kontributor : Anindha Nur Muthia

Editor          : Ahmad Robith

 

 

 

Referensi:

Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, Maktabah Al-Haramain.

KH. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, LKiS, 1994.

Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, The Wahid Institute.

Artikel NU Online: "Ahlussunnah wal Jamaah sebagai Pilar Islam Nusantara".

Jurnal Terkait:

"Konsep Moderasi Islam dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah" — Jurnal Al-Tadbir, 2021.

"Penerapan Nilai ASWAJA dalam Kehidupan Berbangsa di Indonesia" — Jurnal El-Hikam, IAIN Jember.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Harlah : Catatan kecil dalam sebuah perjalanan

         Sebuah catatan ini saya tuliskan ketika disela sela saya melihat story tentang ucapan harlah yang banyak bersliweran di story media sosial. Februari 2025 merupakan bulan ke 2 yang mungkin bagi sebagian orang bulan biasa tanpa perayaan apapun di dalamnya kecuali kalian ulang tahun. Nah di momen ini bagi sebagian orang lain merupakan momentum yang ditunggu yakni tanggal 24 Februari 2025 menjadi harinya rekan-rekan IPNU.      Di hari itu juga, momen yang tepat untuk merefleksi dan  memaknai kembali setahun bahkan lebih ketika mengenal IPNU pada pertama kalinya dan proses didalamnya. Ya, tentunya banyak yang berterima kasih di ruang juang ini. Tapi bagi saya yang selalu berpikiran suudzon terhadap sesuatu izinkan saya untuk menuangkan beberapa keresahan saya dalam bentuk refleksi yang saya catat kali ini.      Ya, betul banyak sekali yang berterima kasih berproses namun layaknya seorang sopir yang harus tahu tentang m...

Siapa Aku?

  ALYA SHOPIA kader IPPNU yang sedang perjalanan pulang selepas rapat, Ketika sampai di depan rumah, Alya melihat Pria di depan rumahnya dengan sebuah kutipan di belakang kaosnya “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) – RenĂ© Descartes 1596. Membuat Alya terkesan dan menghampirinya. Alya menatapnya, mencoba mengenali wajahnya yang begitu tertutup. “Siapa Kamu ?” Tanya Alya tanpa sadar Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab “Aku.... aku adalah bagian dari dirimu yang belum kamu kenali” Dengan rasa penasaran yang masih menggantung dikeplanya, Alya meninggalkan pria misterius itu sambil menggaruk kepalanya. Sampai di depan pintu Alya melihat Amplop Surat tergelatak. Tak ada petunjuk pengirim, hanya sebait kalimat: “Siapa sebenarnya dirimu, Alya? , Apa makna pilihan yang kamu buat hari ini?” Baru beberapa detik membaca, jantungnya berdebar, di balik kesederhanaan kata itu tersembunyi misteri yang bisa mengguncang segala keyakinan tentang jati diri. Hari itu,...

Kawan atau sekedar Klik

  Ponsel Alya bergetar berkali-kali sebelum azan Subuh. Kembali, grup WhatsApp IPNU-IPPNU penuh dengan pesan. Semuanya dimulai dengan poster pendidikan, stiker, jokes, dan perdebatan panjang tanpa peringatan tentang siapa yang bertanggung jawab atas jadwal pengajian. Bahasa mulai meninggi. Perlahan-lahan muncul sarkas, seolah-olah mereka dapat membenarkan sikap yang tidak akan pernah mereka katakan jika mereka berhadapan langsung. "Kenapa sih grup pengkaderan malah seperti ring tinju?" tanya Rania, yang masih terpejam. Alya hanya berfokus pada layar. Ia merasa ada kesalahan. Namun, di mana letak kesalahannya? Di kelas filsafat keesokan harinya, Dosen Munir menulis sebuah kalimat besar di papan tulis: “mengatakan sesuatu berarti melakukan sesuatu” Alya memperhatikannya baik-baik. Austin (1911) filsuf Inggris, meyakini bahwa ucapan manusia bukan sekadar deskripsi. Ucapan adalah tindakan. Ketika seseorang mengatakan "saya janji" , ia tidak hanya menyebut fakt...