Wacana pengiriman pelajar yang terlibat dalam perilaku
nakal ke barak militer kembali mencuat. Program ini, seperti yang dilakukan di
Jawa Barat oleh Gubernur Dedi Mulyadi pada Mei 2025, mengirimkan pelajar
bermasalah untuk mengikuti pelatihan ala militer di bawah pengawasan TNI-Polri
selama enam bulan. Tujuannya: membentuk kedisiplinan dan memperbaiki karakter
siswa yang dianggap “nakal”.
Namun,
pendekatan ini menimbulkan perdebatan serius. Meskipun disiplin penting dalam
pendidikan, apakah menanamkannya melalui cara-cara militeristik akan
menghasilkan perubahan yang substantif dan berkelanjutan? Atau justru hanya
menciptakan kepatuhan semu yang rapuh?
Pendidikan dan Emansipasi: Pemikiran Paulo Freire
Dalam karyanya yang monumental Pedagogy of the
Oppressed, Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan sejati harus membebaskan,
bukan menindas. Pendidikan, kata Freire, bukanlah proses "deposito"
di mana siswa dianggap seperti celengan kosong yang harus diisi oleh guru atau
otoritas. Sebaliknya, pendidikan adalah dialog — proses sadar antara manusia
untuk memahami realitas dan mengubahnya secara kolektif.
Pendekatan militer terhadap siswa justru menegasikan
prinsip ini. Alih-alih mendengarkan dan memahami konteks sosial, psikologis,
dan ekonomi di balik kenakalan siswa, pendekatan barak mengedepankan solusi
satu arah berbasis kekuasaan. Bagi Freire, ini adalah bentuk dehumanisasi:
memperlakukan siswa sebagai objek, bukan subjek yang dapat berpikir, berdialog,
dan menentukan arah hidupnya sendiri.
Masalah Struktural yang Terlupakan
Kenakalan remaja bukanlah fenomena tunggal yang bisa
diselesaikan dengan disiplin keras. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
mencatat bahwa perilaku menyimpang di kalangan pelajar sering kali berkaitan
dengan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, perundungan, dan kurangnya
dukungan emosional.
Namun, alih-alih menguatkan sistem konseling,
memperluas pelatihan guru dalam pendekatan psikososial, atau membangun
lingkungan sekolah yang aman dan suportif, wacana yang diangkat justru mengarah
pada militerisasi pendidikan. Ini menunjukkan kegagalan dalam membaca akar
masalah dan menggantinya dengan solusi yang superfisial.
Alternatif Pendidikan Berbasis Humanisme dan Komunitas
Sebagai alternatif, pendekatan pendidikan yang
berbasis nilai-nilai humanisme dan pemberdayaan harus diperkuat. Lembaga
seperti pesantren telah lama menjadi ruang pendidikan karakter yang efektif. Di
sana, kedisiplinan dibentuk bukan dengan paksaan, tetapi dengan keteladanan dan
nilai spiritual.
Selain itu, organisasi pelajar seperti IPNU dan IPPNU
juga dapat menjadi wahana pendidikan karakter yang kuat. Mereka tidak hanya
mengajarkan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan, tetapi juga melatih
kepemimpinan, solidaritas, dan tanggung jawab sosial melalui praktik langsung.
Ini sejalan dengan gagasan Freire: pendidikan sebagai tindakan sadar dan
kolektif untuk membentuk manusia yang utuh dan merdeka.
Menggagas Pendidikan yang Membebaskan
Pendidikan semestinya menjadi ruang pembebasan, bukan
pemaksaan. Menjadikan barak militer sebagai solusi utama berarti menyerahkan
pendidikan pada logika kekuasaan, bukan pada proses pembentukan kesadaran
kritis.
Sebagai pelajar, kami mendambakan sistem pendidikan
yang mendengarkan, bukan mendikte; yang memanusiakan, bukan mengatur dengan
ancaman. Pendidikan harus menjadi ruang untuk tumbuh dan menjadi, bukan hanya
untuk tunduk dan patuh.
Kontributor : Iqbal Alaik
Editor : Ahmad Robith
Komentar
Posting Komentar