Periode
kepemimpinan empat khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah SAW yaitu Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
merupakan zaman keemasan dalam sejarah Islam. Tidak hanya karena kejayaan
militernya, perluasan wilayah, atau kemajuan sosial, tetapi yang lebih dalam
adalah karena satu prinsip utama yang menjadi fondasi segala gerak. Tauhid,
yang bermakna mengesakan Allah, bukan sekadar dogma akidah pada masa itu akan
tetapi menjadi ideologi aktif yang membentuk cara berpikir politik, sosial,
hukum, bahkan budaya. Dalam tauhid, tidak ada ruang untuk kekuasaan mutlak
manusia. Semua, dari rakyat biasa hingga khalifah, tunduk di bawah hukum Allah.
Prinsip ini yang membedakan model pemerintahan Islam awal dari berbagai bentuk
kerajaan atau imperium lain pada zamannya.
Abu
Bakar Ash-Shiddiq
Ketika
Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pada tahun 632 M, umat Islam baru saja
kehilangan Nabi Muhammad. Kekosongan kepemimpinan ini bisa saja membuat umat
terpecah. Namun, Abu Bakar tampil dengan sebuah pidato yang menjadi cermin
ideologi tauhid: "Aku telah dipilih menjadi pemimpin kalian, padahal aku
bukanlah yang terbaik. Jika aku berbuat benar, bantulah aku. Jika aku salah,
luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya."
Pidato
ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah deklarasi bahwa kepemimpinan dalam
Islam bukan soal otoritas manusia atas manusia lain, melainkan soal menjalankan
amanah ilahi. Abu Bakar membuktikan hal ini dalam kebijakan-kebijakannya,
seperti dalam memerangi kaum murtad dalam Perang Riddah, untuk menjaga kesatuan
tauhid di tengah masyarakat Islam.
Umar
bin Khattab
Pada
masa Umar (634–644 M), Islam meluas dengan cepat seperti wilayah Syam, Persia,
Mesir jatuh ke tangan kaum Muslimin. Tapi Umar tidak membiarkan ekspansi itu
membuat Islam menjadi kekuatan duniawi yang semata-mata menaklukkan wilayah. Ia
membangun sistem administrasi berbasis tauhid: sistem Diwan (pendaftaran
administrasi keuangan dan militer), lembaga Hisbah (pengawasan pasar dan
moral publik), hingga pembentukan qadi (hakim syariat) yang memastikan keadilan
ditegakkan berdasarkan hukum Allah, bukan kehendak penguasa.
Umar
juga terkenal sangat keras terhadap pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan.
Salah satu contoh adalah pemecatan Gubernur Khalid bin Walid, jenderal
legendaris, untuk menjaga integritas pemerintahan. Baginya, tauhid menuntut
semua bentuk kekuasaan dikendalikan oleh prinsip keadilan dan kejujuran.
Utsman
bin Affan
Utsman
(644–656 M) dalam menghadapi tantangan islam sudah berkembang ke berbagai
bangsa dan bahasa seperti ancaman perbedaan dialek bacaan Al-Qur'an mulai
muncul. Untuk itu, Utsman menginisiasi proyek besar: penyatuan mushaf
Al-Qur'an. Ia membentuk tim sahabat senior seperti Zaid bin Tsabit untuk
menyalin Al-Qur'an dalam satu rasm (gaya tulisan) resmi dan mendistribusikannya
ke berbagai wilayah Islam.
Tindakan
ini penting dalam menjaga kemurnian tauhid. Al-Qur'an adalah sumber utama
akidah dan syariat Islam; menyatukan bacaannya berarti menjaga umat tetap
berada dalam koridor tauhid yang benar. Meski masa Utsman diwarnai fitnah
politik hingga akhirnya berujung pada pembunuhannya, niatnya untuk menjaga
agama tetap bersih dari perpecahan sangat mencerminkan kepemimpinan berbasis
tauhid.
Ali
bin Abi Thalib
Ali
(656–661 M) memimpin di masa paling sulit. Umat Islam terpecah belah setelah
peristiwa pembunuhan Utsman. Muncul perang saudara seperti Perang Jamal dan
Perang Shiffin. Tapi di tengah kekacauan itu, Ali tetap menjadikan tauhid
sebagai pegangan. Ia menulis surat kepada Malik al-Ashtar, gubernur Mesirnya: "Janganlah
kau menjadi binatang buas yang menganggap rakyatmu sebagai santapan. Mereka
adalah saudaramu dalam agama atau makhluk Allah sepertimu."
Dalam
surat-surat dan kebijakannya, Ali selalu mengingatkan bahwa kekuasaan adalah
amanah, bukan alat untuk kepentingan pribadi. Ia berusaha meredam konflik,
mendahulukan perdamaian, dan mempertahankan prinsip keadilan semua karena
landasan tauhid.
Dari
632 M hingga 661 M, wilayah Islam berkembang dari hanya Jazirah Arab menjadi
mencakup:
- Persia (jatuhnya
Kekaisaran Sassanid pada Pertempuran Nahawand 642 M)
- Syam (kemenangan di
Yarmuk 636 M)
- Mesir (penaklukan pada
642 M di bawah Amr bin Ash)
- Afrika Utara dan
sebagian Asia Tengah
Menurut
sejarawan Hugh Kennedy dalam bukunya The Prophet and the Age of the
Caliphates, perluasan ini bukan hanya hasil kekuatan militer, tapi juga
karena model pemerintahan Islam yang adil dan berbasis tauhid, yang menarik
banyak rakyat di wilayah baru.
Selain
politik dan hukum, ideologi tauhid membentuk tatanan sosial yang revolusioner
untuk zamannya. Dalam Islam, semua manusia setara di hadapan Allah. Tidak ada
perbedaan hak antara orang Arab atau non-Arab, kaya atau miskin, bangsawan atau
budak.Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam, dijadikan muazin
utama Nabi. Salman Al-Farisi, bukan Arab, dijadikan penasihat strategis
Rasulullah dan sahabat-sahabat besar. Hal ini menunjukkan betapa prinsip tauhid
menghapus hierarki sosial buatan manusia.
Belajar
dari masa Khulafaur Rasyidin, kita memahami bahwa ideologi tauhid bukan hanya
soal hubungan individu dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan
manusia lain. Tauhid menuntut pemerintahan yang adil, akuntabel, dan berpihak
pada rakyat. Tauhid menuntut penguasa sadar bahwa mereka hanyalah pelayan
Allah, bukan tuan atas rakyat. Di era modern, banyak bangsa yang berjuang
melawan korupsi, ketidakadilan, diskriminasi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Masa Khulafaur Rasyidin mengajarkan bahwa semua itu bisa dicegah bila kita
kembali kepada prinsip tauhid: menempatkan Allah di atas segalanya, dan
menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan alat untuk kepentingan pribadi.Maka,
ketika dunia hari ini mencari model pemerintahan yang adil, transparan, dan beradab,
mungkin sudah saatnya menoleh ke belakang — ke masa di mana tauhid bukan hanya
menjadi akidah, tetapi ruh dari seluruh peradaban.
Kontributor : Kirania Nafisatul Azahra
Editor : Ahmad Robith
Referensi:
Al-Mubarakfuri, Safiyurrahman. Ar-Raheeq
Al-Makhtum (The Sealed Nectar). Riyadh: Darussalam,2002.
Kennedy, Hugh. The Prophet and
the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh
Century. London: Routledge, 2004.
Ibn Katsir. Al-Bidayah wa
An-Nihayah (The Beginning and the End). Beirut: Dar
Al-KutubAl-Ilmiyyah,1985.
Al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. Tarikh
al-Rusul wa al-Muluk (History of the Prophets and Kings). Albany: State
University of New York Press, 1989 (terjemahan oleh Franz Rosenthal).
Komentar
Posting Komentar