Langsung ke konten utama

Tauhid dan Ketenangan Jiwa: Solusi Islami untuk Krisis Emosional Gen Z

 

 


Gen Z merupakan sebutan untuk generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Gen Z sangat akrab dengan teknologi dan internet dan sering disebut sebagai “Digital Natives”. Di Indonesia Gen Z digadang-gadang akan memimpin Indonesia Emas 1945. Meskipun demikian generasi “calon” pemimpin Indonesia Emas 1945 ini banyak mengalami masalah kesehatan mental yang dapat berdampak pada sosial dan ekonomi yang dapat merugikan kehidupan mereka di masa depan. Menurut studi oleh American Psychological Association (APA), Generasi Z memiliki tingkat stress yang lebih tinggi daripada generasi lainya. Menurut APA hanya 45% Gen Z yang memiliki kesehatan mental yang baik, selain itu Gen Z lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan ADHD. Faktor yang menyebabkan gangguan kesehatan mental antara lain adalah tekanan pendidikan, pekerjaan, ekspektasi hidup, serta penggunaan media sosial yang berlebihan.

Penggunaan sosial media dengan rata-rata lebih dari dua jam sehari dari survey yang dilakukan oleh McKinsey Health Institute menyimpulkan bahwa penggunaan media sosial juga mempengaruhi kesehatan mental. Digital Native yang disandang oleh Gen Z juga memberikan dampak negatif berupa gangguan kesehatan mental. Meskipun sangat akrab dengan era digital, bahkan tumbuh dengan teknologi yang sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, namun kondisi demikianlah yang mengakibatkan ketergantungan serta dampak gangguan mental. Dari penelitian yang sama menyebutkan bahwa media sosial memberikan dampak negatif berupa rasa takut tertinggal tren baru atau Fear of Missing Out /FOMO (32%), khawatir terhadap citra tubuh (32%) dan kepercayaan diri (13%).

Kesehatan mental butuh keseimbangan jiwa, maka dari itu dibutuhkan sisi psikologis, emosional, dan spiritual bagi diri manusia. Jika sisi spiritual dibiarkan kering, maka sisi psikologis dan emosional bisa ikut terganggu begitupun sebaliknya. Kemajuan dan perkembangan teknologi memberikan kemudahan bagi manusia tapi juga menimbulkan masalah baru, dalam hal ini yaitu terkait dengan masalah kesehatan mental yang disebabkan FOMO mengikuti tren yang ada. Kemajuan dalam bidang materi menyebabkan kita mengalami masalah kelumpuhan spiritual.

Tauhid sebagai Dasar Spiritualitas Islam

Tauhid adalah inti dari teologi Islam, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah yang disembah, tempat bergantung, dan dzat yang Maha Kuasa. Ketika manusia sudah yakin bahwa hidupnya dalam lindungan Allah, maka hatinya tidak akan mudah goyah oleh dunia dan tidak perlu khawatir dengan masa depan karena sudah yakin bahwa hasil usaha sudah ditentukan oleh Allah. Spiritualisme dalam islam disebut dengan Tasawuf adalah sebuah ajaran yang menekankan peribadatan batiniyah atau yang menyangkut dengan ketenangan hati. Tasawuf juga identik dengan ikhlas, Imam Ghazali mendefinisikan bahwa tasawuf adalah mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah dan meremehkan segala sesuatu selain Allah, karenanya Tasawuf berkaitan dengan amalan ikhlas. Terdapat tawakal yaitu sikap berserah diri kepada Allah setelah berusaha. Dengan berserah diri dapat membantu manusia melepaskan beban mental yang tidak perlu, karena kecemasan timbul karena kita ingin mengatur hal-hal diluar kuasa kita, dengan kata lain kita ingin mengatur hal-hal dalam kuasa Allah. Dengan Tauhid, kita belajar “legowo” bahwa hasil bukan di tangan kita, dengan demikian dapat membuat jiwa menjadi tenang.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh nyata bagaimana tauhid menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi cobaan dan tekanan hidup. Banyak sekali ujian emosional yang dialami nabi Muhammad SAW seperti wafatnya istri yang paling dicintai Sayyidah Khadijah, dihina oleh kaumnya, bahkan diancam dibunuh.Yang demikian ini tidak meruntuhkan mental nabi Muhammad, karena hatinya sudah tawakal dan terikat kuat dengan Allah SWT. Dalam Surat At-Taubah ayat 40 yang artinya : “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”.  Ayat ini merupakan ekspresi dari tauhid yang dalam, memiliki maksud kepercayaan total jika Allah bersama kita, sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan. Hal ini adalah pelajaran besar bagi siapapun yang merasa hidupnya penuh tekanan.

Dalam khutbah terakhir Nabi Muhammad memiliki inti dan pesan yang sangat berharga yaitu pedoman hidup manusia maupun hubungan manusia dengan Tuhanya. Tauhid seharusnya menjadi bagian dari kehidupan seluruh muslim, termasuk Gen Z. Ibadah merupakan hal yang wajib bagi setiap muslim, selain menjadi wujud penghambaan seorang hamba terhadap penciptanya, ibadah juga memberikan ketenangan bagi seorang hamba. Pola pikir bahwa melakukan suatu usaha merupakan sebuah kewajiban dan merupakan ranah yang bisa kita atur atau kontrol, selebihnya kita pasrahkan kepada Allah dzat yang Maha Kuasa. kemudian yang bisa Gen Z lakukan adalah menata tujuan hidup bukan hanya  untuk pencapaian duniawi, tapi untuk keridhaan Allah. Dunia bersifat rusak dan sia-sia, dengan , oleh karena itu jangan sia-siakan waktu untuk hal yang percuma dan menyiksa mental kita dengan kecemasan yang palsu. Gen Z tidak kekurangan akses, hiburan, atau teknologi, tapi mereka membutuhkan makna dan ketenangan batin yang tidak ditemukan dari mengikuti tren dari sosial media.

 


Kontributor : Zidhna Zulfa Fikrika

Editor          : Ahmad Robith

 


Referensi

Khalish N, Alasan Utama Gen Z Rentan Kena Masalah Mental Menurut Studi (2024) https://rsj.acehprov.go.id/berita/kategori/artikel/alasan-utama-gen-z-rentan-kena-masalah-mental-menurut-studi  (Diakses 24 April 2025)

Mahendra F R, Sejarah Islam : Menilik Peradaban Islam di Masa Lalu dan Meneladani Pemikiran-Pemikiran Islam (Yogyakarta : Anak Hebat Nusantara, 2024)

Susanti Salamah Eka. SPIRITUAL EDUCATION : SOLUSI TERHADAP DEKADENSI KARAKTER DAN KRISIS SPIRITUALITAS DI ERA GLOBAL (Jurnal Humanistika : Jurnal Keislaman, 2016) https://ejournal.unzah.ac.id/index.php/humanistika/article/view/136

Thahir F A, KESEHATAN MENTAL DI ERA GENERASI Z DALAM STUDI KASUS SMP NEGERI 36 MEDAN (Jurnal Media Akademik, 2023) https://jurnal.mediaakademik.com/index.php/jma/article/download/18/18

Zaidun A, Memahami Aswaja dari Literatur Ulama Nusantara ( Surabaya : Imtiyaz, 2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Harlah : Catatan kecil dalam sebuah perjalanan

         Sebuah catatan ini saya tuliskan ketika disela sela saya melihat story tentang ucapan harlah yang banyak bersliweran di story media sosial. Februari 2025 merupakan bulan ke 2 yang mungkin bagi sebagian orang bulan biasa tanpa perayaan apapun di dalamnya kecuali kalian ulang tahun. Nah di momen ini bagi sebagian orang lain merupakan momentum yang ditunggu yakni tanggal 24 Februari 2025 menjadi harinya rekan-rekan IPNU.      Di hari itu juga, momen yang tepat untuk merefleksi dan  memaknai kembali setahun bahkan lebih ketika mengenal IPNU pada pertama kalinya dan proses didalamnya. Ya, tentunya banyak yang berterima kasih di ruang juang ini. Tapi bagi saya yang selalu berpikiran suudzon terhadap sesuatu izinkan saya untuk menuangkan beberapa keresahan saya dalam bentuk refleksi yang saya catat kali ini.      Ya, betul banyak sekali yang berterima kasih berproses namun layaknya seorang sopir yang harus tahu tentang m...

Siapa Aku?

  ALYA SHOPIA kader IPPNU yang sedang perjalanan pulang selepas rapat, Ketika sampai di depan rumah, Alya melihat Pria di depan rumahnya dengan sebuah kutipan di belakang kaosnya “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) – RenĂ© Descartes 1596. Membuat Alya terkesan dan menghampirinya. Alya menatapnya, mencoba mengenali wajahnya yang begitu tertutup. “Siapa Kamu ?” Tanya Alya tanpa sadar Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab “Aku.... aku adalah bagian dari dirimu yang belum kamu kenali” Dengan rasa penasaran yang masih menggantung dikeplanya, Alya meninggalkan pria misterius itu sambil menggaruk kepalanya. Sampai di depan pintu Alya melihat Amplop Surat tergelatak. Tak ada petunjuk pengirim, hanya sebait kalimat: “Siapa sebenarnya dirimu, Alya? , Apa makna pilihan yang kamu buat hari ini?” Baru beberapa detik membaca, jantungnya berdebar, di balik kesederhanaan kata itu tersembunyi misteri yang bisa mengguncang segala keyakinan tentang jati diri. Hari itu,...

Kawan atau sekedar Klik

  Ponsel Alya bergetar berkali-kali sebelum azan Subuh. Kembali, grup WhatsApp IPNU-IPPNU penuh dengan pesan. Semuanya dimulai dengan poster pendidikan, stiker, jokes, dan perdebatan panjang tanpa peringatan tentang siapa yang bertanggung jawab atas jadwal pengajian. Bahasa mulai meninggi. Perlahan-lahan muncul sarkas, seolah-olah mereka dapat membenarkan sikap yang tidak akan pernah mereka katakan jika mereka berhadapan langsung. "Kenapa sih grup pengkaderan malah seperti ring tinju?" tanya Rania, yang masih terpejam. Alya hanya berfokus pada layar. Ia merasa ada kesalahan. Namun, di mana letak kesalahannya? Di kelas filsafat keesokan harinya, Dosen Munir menulis sebuah kalimat besar di papan tulis: “mengatakan sesuatu berarti melakukan sesuatu” Alya memperhatikannya baik-baik. Austin (1911) filsuf Inggris, meyakini bahwa ucapan manusia bukan sekadar deskripsi. Ucapan adalah tindakan. Ketika seseorang mengatakan "saya janji" , ia tidak hanya menyebut fakt...